Bismillahirrachmannirrahiim ............. Rabbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Ya Tuhanku, ampunilaha dosaku dan dosa ayah dan ibuku serta kasihilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil. Amien ..............

Bukan Satu-satunya

Selama ini masih banyak orang tua mengharapkan anaknya cerdas dengan IQ di atas rata-rata. Sehari-hari masih ada beranggapan anak dengan IQ di atas rata-rata itu dapat menyelesaikan pendidikan formalnya selalu termasuk yang ranking.

Semula pakar psikologi mengembangkan suatu instrumen yang tujuannya untuk mengukur tingkat kecerdasan (intelligence) seseorang. Dari pengukuran ini diperoleh yang dinamakan intelligence quotient (IQ). Kata quotient disini merupakan istilah matematik yang membandingkan dua tingkatan/keadaan. Jadi IQ merupakan suatu hasil bagi, yaitu angka relatif untuk menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang.

Misalnya seorang anak berusia 8 tahun mempunyai kecerdasan sama dengan kecerdasan seorang anak berusia 10 tahun. Maka IQ anak berusia 8 tahun itu (10 dibagi 8) dikali 100 sama dengan 125. Sebaliknya IQ anak yang berusia 10 tahun itu (8 dibagi 10) dikali 100 sama dengan 80. Tingkat IQ yang normal 100.

Seorang anak dikatakan cerdas, bila mempunyai IQ di atas level normal (lebih dari 100). Dan bila mempunyai IQ di atas 130, termasuk anak superior. Kalau seseorang punya IQ di atas 140 termasuk golongan hampir atau genius.

Dari pengalaman sehari-hari, kita sering menjumpai mahasiswa saat kuliah indeks prestasinya biasa-biasa saja, sekedar cukup. Tapi ia berhasil dalam pekerjaan dan bahagia dalam hidupnya. Tidak sedikit pula mahasiswa dengan IQ tinggi, saat kuliah indeks prestasinya selalu baik atau bahkan amat baik dan tentunya sukses dalam studi. Tapi ternyata ia kurang berhasil dalam pekerjaan dan karier. Ternyata IQ itu bukan yang utama yang menentukan keberhasilan hidup seseorang.

Kalau begitu, ada bentuk kecerdasan (intelligence) lain yang ikut menentukan keberhasilan hidup seseorang. Kecerdasan yang selama ini kita kenal, untuk selanjutnya disebut kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), sehari-hari orang sering menyebutnya dengan IQ. Kecerdasan intelektual bisa membuat orang pandai.

Bentuk kecerdasan yang lain, adalah kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).

Sehari-hari, sering orang salah kaprah menyebut kecerdasan emosional dengan emotional quotient, disingkat EQ. Hingga sekarang, belum ada suatu instrumen yang bisa mengukur secara eksak tingkat kecerdasan emosional seseorang untuk menghasilkan yang dinamakan EQ. Tapi kecerdasan emosional ada pada seseorang yang ciri-cirinya mempunyai self awareness, self regulation, empati, motivasi, dan social skill.

Kecerdasan emosional banyak diyakini bisa membuat orang mampu mengendalikan diri. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan jalan membaca buku yang menggugah, belajar langsung dari orang lain. Atau mengkuti pelatihan.

Demikian pula, banyak orang yang salah kaprah menyebut kecerdasan spiritual dengan mengatakan spiritual quotient (SQ). Karena belum ada suatu instrumen yang bisa mengukur SQ seseorang. Walau belum bisa diukur secara eksak, orang yang mempunyai kecerdasan spiritual ciri-cirinya mempunyai rasa ketuhanan, cinta, pengabdian, kepudulian pada sesama, rasa estetika, kemampuan melihat kedepan (visi).

Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan tertinggi. Dengan kecerdasan spiritual, orang mampu membuat hidupnya bermakna. Orang yang mempunnyai dimensi spiritual, biasanya selalu bertanya 'mengapa'. Mengapa ia harus mengerjakan ini, mengapa ia harus menjauhi itu.

Disini saya mencoba memberi ilustrasi sederhana. Seorang mahasiswa fakultas teknik yang mempunyai IQ tinggi dapat menyelesaikan studinya tepat waktu, delapan semester dengan indeks prestasi di atas 3,5. Bahkan ia bisa selesai lebih cepat. Karena mempunyai IQ tinggi dan indeks prestasi di atas 3,5 sebagai sarjana teknik ia mudah mendapat peluang pekerjaan. Atau bahkan ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan membuka usaha menengah kecil. Sedangkan kecerdasan emosional (EI) membimbingnya bekerja dengan ulet dan tekun membesarkan usahanya. Kalau niat membesarkan usahanya hanya karena uang demi mencari profit semata untuk memperkaya diri, maka berarti kecerdasan spiritualnya (SI) masih pada tataran rendah. Bila mempunyai tingkatan SI tinggi, maka ia berupaya agar usahanya dapat memberi manfaat pada banyak orang.

Demikianlah, yang saya peroleh dari berbagai sumber. Bagaimana menurut Anda, any comment or no comment.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home